My another blog

SEBELUM KAMU MENGELUH



Mengeluh, sering kali tanpa disadari hal itu kita perbuat. Berbagai macam hal negatif dapat membuat kita mengeluh. Kadang tak jelas apa yang kita keluhkan. Ada banyak hal yang dapat digunakan untuk memanage sikap kita agar kita tidak mudah mengeluh. Simak berikut ini.

01]. Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik, Pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali

02]. Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu, Pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.

03]. Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa Pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta dijalanan.

04]. Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk, Pikirkan tentang seseorang yang berada pada tingkat yang terburuk didalam hidupnya.

05]. Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istri anda. Pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberikan teman hidup

06]. Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu, Pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat

07]. Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu, Pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul

08]. Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor karena pembantumu tidak mengerjakan tugasnya, Pikirkan tentang orang-orang yag tinggal dijalanan

09]. Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir, Pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan

10]. Dan disaat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, Pikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda.

11]. Sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa...

12]. Kita semua menjawab kepada Sang Pencipta Dan ketika kamu sedang bersedih dan hidupmu dalam kesusahan, Tersenyum dan berterima kasihlah kepada Tuhan bahwa kamu masih hidup !

a. Life is a gift
b. Live it...
c. Enjoy it...
d. Celebrate it...
e. And fulfill it.

13]. Cintai orang lain dengan perkataan dan perbuatanmu

14]. Cinta diciptakan tidak untuk disimpan atau disembunyikan

15]. Anda tidak mencintai seseorang karena dia cantik atau tampan, Mereka cantik/tampan karena anda mencintainya...

16]. It's true you don't know what you've got until it's gone, but it's also true You don't know what you've been missing until it arrives!!!

SEMOGA BERMANFAAT BUAT TEMAN2 SEMUA

dari berbagai sumber

Baca Selengkapnya..

CINTA TAK SELALU BERWUJUD BUNGA


Kisah dari seorang sahabat……

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan.Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa ?",tanya suami saya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan,"jawab saya.

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya ?

Dan akhirnya suami saya bertanya," Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya:

Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung.. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya ?"

Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan. ...

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ' teman baik kamu ' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi aneh'.

Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu.

Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu."

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah.

Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati.

Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi kematian saya."

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu.

Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.

"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang- barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga". Dan tak selalu harus memiliki & berbalas

Baca Selengkapnya..

Benarkah Menikah Didasari Oleh Kecocokkan?


Sebelum Anda membaca tulisan ini, jawablah dalam hati bagaimana menurut Anda akan pertanyaan itu. Simpan jawaban Anda dalam hati dan mulailah membaca tulisan ini.

Kalau dua-duanya doyan musik, berarti ada gejala bisa langgeng...
Kalau sama-sama suka sop buntut berarti masa depan cerah...(That simple?..... ...)

Berbeda dengan sepasang sandal yang hanya punya aspek kiri dan kanan, menikah adalah persatuan dua manusia, pria dan wanita. Dari anatomi saja sudah tidak sebangun, apalagi urusan jiwa dan hatinya.
Kecocokan, minat dan latar belakang keluarga bukan jaminan segalanya akan lancar..
Lalu apa?

MENIKAH adalah proses pendewasaan. Dan untuk memasukinya diperlukan pelaku yang kuat dan berani. Berani menghadapi masalah yang akan terjadi dan punya kekuatan untuk menemukan jalan keluarnya. Kedengarannya sih indah, tapi kenyataannya?

Harus ada 'Komunikasi Dua Arah', 'Ada kerelaan mendengar kritik', 'Ada keikhlasan meminta maaf',
'Ada ketulusan melupakan kesalahan' dan 'Keberanian untuk mengemukakan pendapat'.

Sekali lagi MENIKAH bukanlah upacara yang diramaikan gending cinta, bukan rancangan gaun pengantin ala cinderella, apalagi rangkaian mobil undangan yang memacetkan jalan.

MENIKAH adalah berani memutuskan untuk berlabuh, ketika ribuan kapal pesiar yang gemerlap memanggil-manggil.

MENIKAH adalah proses penggabungan dua orang berkepala batu dalam satu ruangan di mana kemesraan, ciuman, dan pelukan yang berkepanjangan hanyalah bunga.

Masalahnya bukanlah menikah dengan anak siapa, yang hartanya berapa, bukanlah rangkaian bunga mawar yang jumlahnya ratusan, bukanlah perencanaan berbulan-bulan yang akhirnya membuat keluarga saling tersinggung, apalagi kegemaran minum kopi yang sama...

MENIKAH bukan didasari atas kesucian diri, tapi kesucian hati. Apalah artinya MENIKAH apabila tidak suci hati. Diri yang kotor dapat mudah diperbaiki, namun hati yang kotor tak mudah diperbaiki.

MENIKAH adalah proses pengenalan diri sendiri maupun pasangan anda. Tanpa mengenali diri sendiri, bagaimana anda bisa memahami orang lain...?? Tanpa bisa memperhatikan diri sendiri, bagaimana anda bisa memperhatikan pasangan hidup...??

MENIKAH sangat membutuhkan keberanian tingkat tinggi, toleransi sedalam samudra, serta jiwa besar untuk 'Menerima' dan 'Memaafkan'.

Dengan kata lain, MENIKAH merupakan penggabungan dua bagian yang saling berbeda untuk dicari kecocokannya, bagaikan mur dan baut, bukan persamaan yang dangkal, bukan pula persamaan yang terlihat indah di mata. Perbedaan harus dicari kecocokan bukan persamaan.

Perpisahaan dengan alasan perbedaan adalah alasan yang naif, dan dibuat-buat.


dari berbagai sumber

Baca Selengkapnya..

EMPATI


by: Andy F. Noya

Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.

Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.

Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.

Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.

Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.

Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.

Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.

Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.

Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.

Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.

Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.

Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku “Chiken Soup”, saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.

Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.

Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata “terima kasih” saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata “terima kasih” merupakan “magic words” yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata “tolong” ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.

Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. “Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?’’ Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.

Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.

Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.

Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.

Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.

Baca Selengkapnya..

Kaca Spion


by: Andy F Noya


Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana. Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu.Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?

Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah. Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV. Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya. Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya.

Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah. Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah danmengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya. Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidakbersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu,pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktuitu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering Cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan hidup sebulan. Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang.Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi? Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya. Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya..Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan. . Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani. Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti.

Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencobameyakinkan, "Kamu berhak untuk itu.. Sebab kamu sudah bekerja keras." Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnyadengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, adaketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong. Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian.

Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tuadengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.. Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maafatas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi.Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan.Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit.

Baca Selengkapnya..

Perbedaan Persepsi

Ada seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA hal kepada 2 anak laki-lakinya :

- Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yg berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.

Pada suatu hari sang Ibu menanyakan hal itu kepada mereka.


Jawab anak yang bungsu :

"Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih".
"Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak".

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang sama.

Jawab anak sulung :

"Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan sehingga dengan demikian modal
tidak susut".

"Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup."

"Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama".

MORAL CERITA :
Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat di tanggapi dengan presepsi yang berbeda. Jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita... pilihan ada di tangan anda.

'Berusahalah melakukan hal biasa dengan cara yang luar biasa'

Kutipan dari berbagai sumber

Baca Selengkapnya..

Isi Survey Dibayarin Dollar $$$$